Peringatan delapan tahun kematian pejuang Hak Asasi Manusia (HAM) Munir Said Thalib sepertinya kurang mendapat liputan yang luas dari media mainstream. Entah disengaja atau tidak, berita peringatan itu tertutup oleh pengejaran polisi terhadap terduga pelaku teror. Bahkan, dengan memantau perkembangan detik per detik tanpa kemajuan yang signifikan, liputan pengejaran itu sudah mendekati kadar yang berlebihan; menjurus absurd dan penuh pencitraan. Kejadian ini sama persis dengan kejadian saat Munir terbunuh pada 2004; berebut isu dengan penangkapan teroris.
Namun, pemberitaan tentang peringatan kasus Munir masih saya dapatkan dari beberapa media online.
Ada aksi diam untuk Munir di Aceh; doa bersama untuk almarhum Munir di
depan istana sebagai tuntutan realisasi janji Presiden mengusut tuntas
kasus pembunuhan Munir; tuntutan agar Munir dikukuhkan menjadi pahlawan
HAM oleh mahasiswa di Malang; pameran kwartet pembunuhan politik
internasional oleh seorang wartawan dan fotografer Belanda dengan Munir
sebagai salah satu tokoh politiknya; gerakan “bersedekah” avatar untuk Munir di “Twitterland”;
dan juga “aksi melawan lupa” oleh ratusan aktifis HAM. Saya bisa
melihat “muatan” penting berupa pesan untuk tidak melupakan kasus
pembunuhan Munir delapan tahun lalu dan terus menyuarakan reformasi
penegakan HAM di Indonesia. Namun, ada juga pesan lain berupa
pertanyaan. Apakah pembahasan itu masih hanya berputar di kalangan
aktifis, mahasiswa, seniman, dan keluarga mendiang Munir saja?
Melihat hal itu, saya sendiri sangat
yakin bahwa ada banyak takdir yang ditentukan dari setiap peristiwa yang
terjadi. Meskipun setiap orang memiliki freewill atas apa yang
dilakukannya dan menjalani kehidupan dengan segala pilihannya, saya
percaya bahwa Munir tidak hanya menjalani ketentuan untuk menerima
kematiannya. Dia juga ditakdirkan membuka lubang dan membuka mata banyak
orang bahwa perjuangan penegakan HAM merupakan harga mati. Arsenik1
yang ada dalam tubuhnya hanya bisa bereaksi sampai merusak sistem
pencernaan akut dan rasa sakit hingga kematian jasadnya. Sementara itu,
ruhnya terus berbisik di telinga. “Bercerminlah di mata saya.
Perlindungan hak-hak hidup manusia dan perjuangan rasa aman adalah rasa
cinta yang diendapkan sementara. Selanjutnya, endapan itu akan menyembur
ke mana-mana.“ Spirit perjuangannya; itulah ruhnya.
Spirit Munir mengendap di dalam kami.
Contoh paling konkret buat kami adalah lagu “Di Udara”. Sejujurnya, saya
tidak mungkin mengatakan bahwa hanya unsur artistik yang membuat lagu
itu cukup direspons oleh banyak pendengar dan pengamat musik.
Satu-satunya hal yang kami rencanakan (dalam hal ini Cholil yang
melakukannya) adalah menulis lagu yang memberi gambaran umum tentang
Munir. Kami tidak muluk-muluk; cukuplah pesan itu sampai kepada siapapun
yang mendengarkannya. Kemudian, ketertarikan dan pencaritahuan mereka
akan Munir merupakan pencapaian besar.
Belakangan, saya diserbu oleh berbagai
tanggapan, opini, dan pertanyaan akan kekaguman terhadap sosok Munir.
Dengan sungguh-sungguh, saya merasakan penyelaman mereka akan Munir. Itu
membuat mereka mendengarkan dan menyanyikan “Di Udara” dengan penuh
penghayatan. Bahkan, ada orang yang sampai menggemetarkan saya. Dia
terlihat seperti tersayat-sayat memekikkan kebebasan. Kini, ada dua
orang yang “bertanggung jawab” akan daya magis lagu itu: Cholil dan
Munir sendiri.
Saya baru menyadari bahwa “Di Udara”
telah memiliki takdirnya. Sebagai sebuah karya, dia sudah terbebas dari
ekspektasi kami sendiri. Dia menabur cerita. Dia mengetuk hati siapapun
yang mau peduli. Dia mengajak orang untuk tidak pernah lupa. Dia juga
mempertemukan kami dengan orang-orang yang mau menyiarkannya. Saat ini,
saya hanya duduk di sini untuk menceritakan perjalanannya.
Mendapat Ide dari Film
Menjodohkan
musik dan tema lirik tidak selalu mudah. Hal itu juga berlaku untuk “Di
Udara”, meskipun sebenarnya merupakan satu dari sedikit lagu dengan
proses pengerjaan musik yang relatif cepat. Saya tidak akan lupa saat
kami mengaransemennya pada akhir 2004. Itu adalah jamming terbaik yang
pernah kami lakukan. Nada gitar yang mencekam menjadi tema utama hari
itu. Kami pun cepat hanyut dalam perasaan “mencekam dan merinding”.
Setelahnya, kami cukup lama mengendapkan lagu itu. Menurut Cholil,
sayang sekali kalau temanya tidak sekuat musiknya.
Dia baru mendapat ide temanya setelah menonton film berjudul Garuda's
Deadly Upgrade. Dengan gaya jurnalisme investigative, film yang
diproduksi oleh Off Stream Komunitas Media & Dokumenter itu berusaha
menguak beberapa keganjilan dalam kasus pembunuhan Munir. Karya dua
video jurnalis David O’Shea dari Dateline SBS TV-Australia dan Lexy
Rambadeta itu menjadi inspirasi Cholil untuk menulis “Di Udara”.
Bahkan, pada suatu waktu, dia pernah bilang, seandainya tidak menonton
film itu, dia tidak tahu apa yang akan ditulis. Kami pun tidak akan
pernah tahu nasib lagu itu; mungkin saja tidak akan jadi apa-apa.
Memainkannya Pertama Kali
Memainkan
sebuah lagu untuk pertama kalinya di panggung selalu menjadi momen yang
berkesan. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa kami memainkan “Di
Udara” pertama kalinya ketika diundang dalam peringatan setahun
kematian Munir yang diadakan di Goethe Institute Jakarta. Pada acara
itu, juga diadakan pemutaran dan diskusi film Garuda's Deadly Upgrade.
Kami juga memanfaatkan acara itu untuk promosi kecil-kecilan dengan
membagikan promo tools berupa kaset rekaman yang hanya berisi “Di Udara”
dengan sampul karya Tania Ranidhianti.
Hadir dalam Album Kompilasi Todays Of Yesterday
Album
kompilasi Todays Of Yesterday diproduksi oleh BadSectors Records dan
dirilis pada Mei 2006. Konsep album itu adalah menyajikan beragam karya
musik yang mengacu pada perjalanan berbagai warna musik dari waktu ke
waktu. Gucap, sang produser album, tertarik untuk mengikutsertakan “Di
Udara” setelah secara tidak sengaja mendengarkan sampel rekamannya dari
Joseph Saryuf (Iyup Santamonica). Dia mengapresiasi lagu itu sebagai
musik berwarna folk rock.
Gucap menafsirkan “Di Udara” sebagai “musik protes” yang melodius dan
saat itu nyaris belum ada lagi yang mengangkat tema HAM. Kemudian hari,
dia memilih “Di Udara” sebagai single untuk mempromosikan album itu dan
sempat diputar di beberapa stasiun radio. Musisi lain yang ikut mengisi
dalam album itu adalah Adrian Adioetomo, Santamonica, Godsmustbecrazy,
That’s Rockeffeler, Last Drive, Gugun And The Blues Bug, Skalie,
Equiment Junkie, Atomic Pants, Illusion, Revolusi Pop, Thrashline,
Sugarstar, dan Alfa (Pain Killer).
Disebut sebagai Band Politik
Tidak
sekali atau dua kali saja kami mendapat pertanyaan untuk menjelaskan
alasan kami memilih jalur sebagai band politik. Beberapa media massa dan
zine menyebut kami sebagai band sosiopolitik. Kami pun sudah biasa
menjelaskan lagi tentang konsep Efek Rumah Kaca. Kami tidak hanya
membahas tema sosial dan politik. Kami akan mengangkat tema apapun yang
“memanggil” kami. Dari pertanyaan mereka, kami mengerti bahwa sebutan
itu disebabkan oleh “Di Udara”. Rupanya, lagu itu sangat berkesan bagi
mereka.
Ring Back Tone “Di Udara” untuk Munir
Karena
mempertimbangkan animo para pendengar Efek Rumah Kaca, kami memutuskan
untuk merilis “Di Udara” sebagai single ketiga dari album Efek Rumah
Kaca. Perilisan itu diadakan pada 20 Juni 2008 di Time Out Cafe Pasar
Festival Kuningan, Jakarta. Pada saat itu, kami juga mengumumkan rencana
kami untuk mendonasikan hasil penjualan Ring Back Tone (RBT) “Di Udara”
sepenuhnya untuk Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (KASUM). Kami
memang punya alasan yang kuat untuk itu. Animo banyak orang terhadap
lagu itu tidak lepas dari penghargaan mereka terhadap Munir. Jadi, hasil
penjualannya lebih pantas didedikasikan untuk mendukung pengusutan
kasus kematiannya.
Masuk dalam 150 lagu terbaik versi Rolling Stone
Dengan
tujuan untuk mendokumentasikan dan melestarikan karya-karya seniman
musik yang menjadi bagian sejarah musik Indonesia, majalah Rolling Stone
Indonesia pernah menerbitkan edisi khusus “150 Lagu Indonesia Terbaik”
pada Desember 2009. Lagu-lagu yang dirilis di Indonesia dari era 50-an
sampai 2000-an itu dipilih oleh seratus orang panelis dari kalangan
musisi, wartawan, radio, TV, dan kolektor musik. Ketika membacanya, kami
mendapat kejutan karena “Cinta Melulu” dan “Di Udara” masuk dalam
daftar itu. Apalagi, promo single “Di Udara” tidak seberapa dibandingkan
“Cinta Melulu”. Beberapa minggu setelah itu, kami tertarik untuk
mencari tahu tentang kejutan itu dan sempat bertanya kepada Ricky
Siahaan. Ricky, wartawan Rolling Stone yang juga ikut sebagai panelis,
mengatakan bahwa bahwa masuknya “Di Udara” dalam daftar itu disebabkan
lagu itu berhasil mengangkat sosok Munir dan dianggap sukses berfungsi
sebagai penanda zaman.
Sampai saat ini, “Di Udara” hampir tidak pernah lepas dari set list
Efek Rumah Kaca di atas panggung. Kami pernah mencoba “bermain-main”
dengan data. Hasilnya, “Desember” dan “Di Udara” merupakan lagu yang
paling sering kami bawakan di atas panggung. Walaupun kami biasanya
menempatkannya pada akhir set list, kadang teriakan penonton
“memaksa” kami untuk membawakannya saat itu juga. “Teriakan Munir” dari
bawah panggung kami anggap sebagai pernyataan simpati yang tulus dan
kami ingin meresponsnya dengan baik. Teriakan itu menyatakan spirit
perjuangan Munir layak untuk terus disuarakan.
Source : Efek Rumah Kaca

No comments:
Post a Comment